Featured blog image
Berita 2 min read

Telah lukai marwah Pesantren, Ketua PC PMII Blitar tuntut pertanggungjawaban Trans7

Ketua PC PMII Blitar, M. Riski Fadila. (Dok. PC PMII Blitar)



Di tengah derasnya arus informasi dan cepatnya perubahan lanskap media, peran pers semestinya menjadi penegak objektivitas dan penjaga kepercayaan publik. Namun, ketika kebebasan pers dijalankan tanpa disertai tanggung jawab moral, yang muncul bukan pencerahan, melainkan kebingungan dan keresahan di tengah masyarakat.


Hal inilah yang disoroti oleh Ketua Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Blitar, M. Riski Fadila, usai tayangan program “Xpose Uncensored” di Trans7 menuai reaksi keras dari kalangan santri, alumni, serta masyarakat pesantren.


Menurut Riski, tayangan tersebut tidak hanya merusak citra pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan, tetapi juga memperlihatkan lemahnya penerapan prinsip-prinsip etika jurnalistik di tubuh media arus utama.


Sebagaimana diketahui, keresahan publik meluas setelah tayangan itu menampilkan kehidupan di Pondok Pesantren Lirboyo dengan cara yang dianggap tidak pantas, bahkan dinilai dapat mencoreng nama baik pesantren sebagai institusi pendidikan yang berakar pada nilai moral dan spiritual.


Baca Juga: PMII Blitar gelar aksi "September Duka", desak pembebasan aktivis yang ditahan


Riski menegaskan bahwa kebebasan pers adalah bagian penting dari sistem demokrasi, di mana media memiliki hak untuk memberitakan, mengkritik, dan mengungkap fakta kepada publik. Namun, katanya, kebebasan itu harus berjalan seiring dengan tanggung jawab etik serta kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik.


“Media jangan menjadikan konten hanya sebagai alat pemuas sensasi atau demi mengejar rating. Setiap tayangan harus berlandaskan pada akurasi, keseimbangan informasi, dan kejujuran dalam penyajian berita,” tegas Riski pada Rabu, 15 Oktober 2025. Ia menguraikan sedikitnya tiga pelanggaran etika dalam program tersebut.


Pertama, gambaran kehidupan pesantren ditampilkan secara sepihak dan tendensius, sehingga menimbulkan persepsi keliru di masyarakat.


Kedua, Trans7 tidak memberi ruang yang memadai bagi pihak pesantren untuk memberikan klarifikasi atau pandangan balik, menyebabkan informasi yang diterima publik menjadi timpang.


Ketiga, penggunaan narasi yang provokatif dan berlebihan justru memperkeruh suasana dan menimbulkan reaksi emosional, jauh dari fungsi edukatif media.


Riski menegaskan bahwa pesantren merupakan lembaga penting dalam membentuk karakter bangsa dan menanamkan nilai-nilai luhur yang telah melahirkan banyak tokoh nasional berpengaruh. Karena itu, sudah sepantasnya media memberikan apresiasi dan dukungan terhadap peran strategis pesantren, bukan justru menampilkan konten yang merendahkan.


Sebagai penutup, Ketua PC PMII Blitar Raya tersebut mendesak pihak Trans7 untuk memberikan klarifikasi dan pertanggungjawaban moral atas tayangan tersebut, serta mengingatkan agar kejadian serupa tidak kembali terjadi di masa mendatang. (pmii/alex)

Related Topics