Ketua PC PMII Blitar tegas menolak KUHAP Baru, soroti pasal-pasal yang dinilai mengancam demokrasi
Dok. M. Riski Fadila (Ketua PC PMII Blitar 2025-2026)
Blitar - Pengesahan RKUHAP menjadi Undang-Undang oleh DPR RI pada 18 November 2025 semula dipandang publik sebagai momentum penting bagi lahirnya pembaruan hukum.
Masyarakat berharap regulasi baru ini mampu menggantikan KUHAP warisan tahun 1981 yang dianggap sudah tidak relevan dengan kebutuhan zaman serta mampu memperkuat keadilan dan perlindungan hak warga negara.
Namun, harapan itu justru berbalik arah. Ketua PC PMII Blitar, M. Riski Fadila, menilai KUHAP baru yang disahkan DPR menunjukkan kecenderungan mengkhawatirkan.
Di saat publik menuntut penguatan hak asasi manusia dan pengawasan terhadap aparat, KUHAP baru justru memuat pasal-pasal kontroversial yang berpotensi membuka ruang pembungkaman, kriminalisasi, hingga penyalahgunaan kekuasaan.
Baca juga: Merawat nalar kritis perempuan, refleksi 58 Tahun KOPRI PMII
Riski menegaskan bahwa reformasi hukum tidak boleh sebatas perubahan administrasi atau prosedur semata.
"Hukum seharusnya menjadi perisai bagi rakyat, bukan alat kekuasaan yang didandani rapi untuk membungkam kritik." ujarnya.
Ia menilai sejumlah ketentuan dalam KUHAP baru melemahkan peran kontrol yudisial yang seharusnya menjadi penyeimbang dalam sistem hukum.
Salah satu pasal yang paling dikritisinya adalah Pasal 5 ayat (2), yang memberikan kewenangan luas kepada penyelidik untuk melakukan upaya paksa seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan, hingga pengambilan sidik jari meski masih dalam tahap penyelidikan.
Bagi Riski, aturan tersebut seperti "senjata tanpa pengaman" karena memungkinkan siapa pun yang bersikap kritis terhadap pemerintah diperlakukan sebagai tersangka sejak awal tanpa batasan yang jelas.
Tak hanya itu, Pasal 16 juga mendapat sorotan. Pasal ini memperluas penggunaan metode penyelidikan khusus, mulai dari undercover hingga controlled delivery untuk semua bentuk tindak pidana. Dalam aturan lama, metode ini hanya diperbolehkan untuk kejahatan tertentu seperti narkotika.
Menurut Riski, perluasan tersebut membuka pintu bagi praktik penjebakan (entrapment) yang dapat mengancam aktivis, mahasiswa, hingga jurnalis.
Pasal 90 dan Pasal 93 juga dikritik karena memberikan ruang bagi tindakan paksa tanpa izin hakim serta memungkinkan penyidik menerbitkan surat perintah penahanan secara mandiri. Hilangnya kontrol hakim di tahap awal, kata Riski, merupakan kemunduran besar dalam perlindungan hak warga negara.
Tidak berhenti di situ, Pasal 105, 112A, dan 132A membuka peluang bagi aparat melakukan penggeledahan, penyitaan, dan pemblokiran data elektronik tanpa izin hakim dalam kondisi “mendesak.” Frasa ini dinilai sangat subjektif dan berpotensi digunakan secara sewenang-wenang.
Ditambah dengan Pasal 124 dan Pasal 136 yang mempermudah penyadapan tanpa pengawasan memadai, KUHAP baru dinilai memberi jalan bagi potensi pemantauan massal terhadap masyarakat.
Riski juga menyesalkan hilangnya konsep hakim pemeriksa pendahuluan (judge commissioner)yang seharusnya menjadi instrumen penting untuk mengawasi tindakan paksa agar tidak disalahgunakan. Ketiadaan lembaga ini, menurutnya membuat aparat memiliki kekuasaan terlalu besar tanpa mekanisme pengimbangan yang memadai.
Ia menilai ancaman ini sangat nyata bagi kelompok kritis seperti mahasiswa dan aktivis. Dengan aturan yang mengizinkan penangkapan tanpa kontrol yudisial, pemerintah berpotensi menggunakan KUHAP baru sebagai instrumen untuk meredam suara-suara kritis, membungkam masyarakat sipil, bahkan menciptakan kriminalisasi terhadap kelompok tertentu.
“Prinsip Musyawarah dan Perwakilan dalam demokrasi akan runtuh jika kritik dianggap kejahatan,” tegasnya.
Selain bersifat represif, beberapa pasal juga dinilai membuka ruang ketidaksetaraan serta mengabaikan perlindungan terhadap kelompok rentan, sehingga menjauh dari nilai keadilan sosial yang selama ini diperjuangkan.
Riski menegaskan bahwa tanpa revisi mendasar, KUHAP baru hanya akan melahirkan bangunan demokrasi yang tampak megah di permukaan tetapi rapuh karena berdiri di atas regulasi yang berwatak represif.
Ia menyerukan agar pemerintah membuka ruang dialog publik dan melibatkan akademisi, mahasiswa, serta masyarakat sipil untuk melakukan revisi substantif.
"Negara hukum hanya kokoh ketika hukum berpihak pada rakyat. Dan KUHAP baru dalam bentuk saat ini bukanlah pelindung, melainkan ancaman. Ini alarm keras bagi demokrasi," ungkapnya.
Dengan sikap tersebut, PC PMII Blitar menjadi satu-satunya organisasi mahasiswa di Blitar yang secara tegas menyampaikan penolakan terhadap KUHAP baru yang dinilai sarat masalah. (pmii/alex)