Featured blog image
Kopri 3 min read

Ekofeminisme: Ketika perempuan dan alam sama-sama diperjuangkan

Oleh: Laila Mufidah - Ketua KOPRI (Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri) PC PMII Blitar


Ketika berbicara tentang ekologi dan gender, banyak yang tidak menyadari bahwa keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Dua hal ini bertemu dalam satu gagasan yang disebut ekofeminisme, yaitu sebuah pandangan yang melihat bahwa kerusakan alam dan ketidakadilan terhadap perempuan memiliki akar yang sama. Namun sebelum sampai ke sana, kita perlu memahami dulu apa sebenarnya yang dimaksud dengan gender, sex, dan ekologi.


Gender adalah hasil dari konstruksi sosial adalah sesuatu yang dibentuk oleh masyarakat mengenai peran, sifat dan perilaku yang dianggap “pantas” bagi laki-laki maupun perempuan. Kita sering mendengar bahwa perempuan itu lembut dan laki-laki itu kuat. Bahwa perempuan cocok di dapur, sementara laki-laki pantas memimpin.


Padahal kenyataannya, sifat-sifat itu tidak selalu mengikuti jenis kelamin seseorang. Ada perempuan yang berani memimpin, bekerja keras di lapangan, atau mengambil keputusan besar. Ada pula laki-laki yang lembut, teliti, dan menyukai hal-hal yang dianggap “feminin”, seperti seni dan kecantikan.


Sementara itu, sex atau jenis kelamin adalah sesuatu yang bersifat biologis anugerah dari Allah SWT yang tidak bisa diubah. Perbedaan gender bisa berubah dan dibentuk oleh lingkungan sosial, tetapi jenis kelamin tidak. Inilah perbedaan mendasar antara gender dan sex.


Lalu, bagaimana hubungan antara gender dengan ekologi?


Ekologi berbicara tentang hubungan antara makhluk hidup dan lingkungannya. Manusia dan alam adalah dua sahabat yang saling membutuhkan. Alam menyediakan kehidupan, sementara manusia bertanggung jawab untuk menjaganya. Sayangnya, hubungan ini sering kali tidak seimbang. Alam dieksploitasi, hutan ditebangi, sungai tercemar, udara penuh polusi. Dan menariknya, dalam banyak situasi, perempuanlah yang paling merasakan dampak dari kerusakan itu.


Di sinilah gagasan ekofeminisme muncul. Paham ini melihat bahwa penindasan terhadap alam dan ketidakadilan terhadap perempuan lahir dari sistem yang sama, sistem yang menempatkan satu pihak di atas yang lain, yaitu patriarki. Sistem ini menganggap bahwa laki-laki lebih dominan dan alam bisa dimanfaatkan tanpa batas. Akibatnya, baik perempuan maupun alam sama-sama menjadi korban eksploitasi.


Ketika air bersih tercemar, perempuanlah yang paling repot mencari sumber air baru. Ketika polusi meningkat, kesehatan reproduksi perempuanlah yang pertama kali terganggu. Ketika banjir datang karena sampah plastik yang tak terkendali, perempuan juga yang kehilangan mata pencaharian. Ekofeminisme mengingatkan kita bahwa isu lingkungan bukan hanya persoalan alam, tetapi juga persoalan keadilan sosial dan gender.


Islam sendiri telah lebih dulu mengajarkan hal itu. Dalam ajaran Islam, manusia ditugaskan sebagai khalifah di bumi yakni penjaga, bukan perusak. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-A’raf ayat 56:


“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.”


Ayat ini menjadi penegasan bahwa menjaga alam adalah bagian dari ibadah. Dalam konteks ekofeminisme, menjaga alam berarti juga menjaga kehidupan perempuan, menjaga keseimbangan, dan menolak segala bentuk ketidakadilan yang merusak harmoni ciptaan Tuhan.


Memahami gender, sex serta ekofeminisme bukan sekadar soal teori. Kesadaran bahwa keadilan bagi perempuan dan kelestarian lingkungan tidak bisa dipisahkan. Menghargai perempuan berarti menghargai kehidupan dan menjaga alam berarti menjaga masa depan umat manusia.