Featured blog image
Opini 3 min read

Negara menghormati Penindas, ironi di Hari Pahlawan Nasional

Oleh: M. Riski Fadila (Ketua PC PMII Blitar)



Sungguh merupakan ironi historis ketika momentum sakral peringatan Hari Pahlawan Nasional pada bulan November justru dinodai oleh keputusan pemerintah yang menimbulkan kegaduhan etika dan moral publik.


Alih-alih menjadi momen reflektif untuk mengenang jasa mereka yang berkorban demi bangsa, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional tahun 2025 justru menjadi simbol ketidakkonsistenan negara dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.


Berdasarkan Surat Sekretaris Militer Presiden Nomor R-28/KSN/SM/GT.02.00/11/2025 tertanggal 6 November 2025, pemerintah mengumumkan sepuluh nama penerima gelar Pahlawan Nasional tahun ini. Namun, keputusan tersebut segera memicu perdebatan akademik dan kegelisahan moral, terutama karena adanya nama yang diduga terlibat dalam pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) pada masa Orde Baru.


Baca Juga : Telah lukai marwah Pesantren, Ketua PC PMII Blitar tuntut pertanggungjawaban Trans7


Lebih jauh lagi, publik dikejutkan oleh kenyataan bahwa nama tersebut disandingkan dalam daftar yang sama dengan Almarhumah Marsinah, seorang buruh perempuan yang gugur dalam perjuangannya menuntut keadilan bagi kaum pekerja. Ironi moral ini mencolok Marsinah, simbol keteguhan melawan tirani, kini “dipersandingkan” secara simbolik dengan representasi dari kekuasaan yang dulu menindasnya.


Pertanyaan besar pun muncul yakni Apakah ini bentuk pemutihan sejarah (historical whitewashing)? Apakah negara kini sedang mencoba merapikan citra politik masa lalu dengan cara melupakan luka-luka lama bangsa, bahkan dengan mengorbankan integritas sejarah dan keadilan bagi para korban? Jika benar demikian, maka keputusan ini bukan hanya mencederai makna kepahlawanan, tetapi juga menampar nurani publik yang masih menanti keadilan bagi para korban pelanggaran HAM yang belum tuntas hingga kini.


Pemberian gelar kehormatan kepada individu yang diduga sebagai pelanggar HAM tidak bisa dipandang sebagai sekadar kesalahan administratif atau pilihan politis. Tindakan ini secara moral justru membuka kembali luka lama bangsa yang seharusnya disembuhkan dengan keadilan, bukan ditutupi dengan penghormatan.


Lebih memprihatinkan lagi, pemerintah seolah merancang mekanisme penganugerahan gelar Pahlawan Nasional tanpa seleksi moral yang ketat. Seolah-olah, gelar tertinggi dari republik ini dapat diberikan hanya berdasarkan pertimbangan politis atau sejarah yang sepihak, tanpa menelusuri integritas dan tanggung jawab moral para tokoh yang diangkat.


Kita tidak boleh menormalisasi pengaburan sejarah. Dalam konteks ini, publik berhak mempertanyakan yakni Apakah seorang pelanggar HAM dapat dianggap pahlawan? Apakah seseorang yang rekam jejaknya bertentangan dengan nilai kemanusiaan layak mendapat kehormatan dari negara?.


Jika kepahlawanan dimaknai sebagai pembelaan terhadap kemanusiaan, keadilan, dan keberanian melawan penindasan, maka jawabannya jelas: tidak. Memberikan gelar pahlawan kepada pelanggar HAM berarti menistakan nilai-nilai yang selama ini dijunjung tinggi oleh bangsa ini, sekaligus menutup ruang bagi keadilan yang belum pernah ditegakkan.


Negara seharusnya belajar bahwa penghormatan tanpa kebenaran hanyalah kepalsuan. Dan kepahlawanan tanpa integritas, hanyalah bentuk lain dari pengkhianatan terhadap sejarah bangsa.

Related Topics